Sabtu, 08 Agustus 2009

revolusi terhenti


















di akhir kekuasaan rezimnya yang represif, jenderal besar soeharto tak berdaya menyelamatkan perekonomian bangsa yang terjerumus ke dalam jurang kebangrutan yang parah. prolognya, krisis moneter tahun 1997/1998.

sejarah mencatat, melalui peristiwa pemberontakan g-30-s 1965 yang berujung pada jatuhnya kekuasaaan bung karno, dan kemudian digantikan oleh rezim otoriter soeharto yang berkuasa selama 32 tahun tanpa jeda, mengakibatkan fase penggemblengan revolusi 45 yang dirintis oleh bung karno, menjadi tertunda atau bahkan terhenti lebih dari tiga dekade. sementara, rezim pengganti pasca-soeharto seperti tak mimiliki ikatan historis batin yang kuat dengan spirit revolusi 45. hampir tak ada energi yang cukup untuk mendorong atau melanjutkan kembali fase penggemblengan revolusi 45. karena pada hakikatnya, proses penggemblengan mental bangsa melalui spirit revolusi 45, amatlah mendesak dilakukan saat ini. karena bangsa ini, secara alamiah generatif akan berganti, dan erstafeta perjalanan bangsa sangat ditentukan oleh daya tahan nasionalisme dan patriotisme kaum muda saat ini. jadi penting dan strategis bila bangsa ini harus segera kembali ke jalan rtevolusi 45, menahan laju perusak yang menggerus nasionalisme dan patriotisme bangsa, akibat deras dan intensifnya pengaruh gaya hidup global yang bercirikan kapitalisme, liberalisme, individualisme, materialisme dan hedonisme. proses westernisasi dalam kehidupan kaum muda saat ini, berlangsung intens dan masif. dan ini membawa implikasi luas pada aspek nasionalisme dan patriotisme mereka.

kita tak bisa menggantungkan harapan pada rezim pengganti pasca-soeharto yang jatuh akibat krisis moneter yang parah tahun 1997/1998. kita catat di sini rezim transisi yang pernah berkuasa yakni: bj habibie, kh abdurrahman wahid, megawati soekarno putri, susilo bambang yudhoyono. dan rezim saat ini, tampaknya tak memiliki imajinasi, inspirasi, dan kesiapan energi guna melanjutkan fase penggemblengan mental bangsa yang dijiwai spirit revolusi 45. mereka hanya sekadar menjalankan otoritas kekuasaannya, tanpa arah tujuan yang jelas. mereka hanya berkisar-kisar dalam urusan pembangunan demokrasi yang gaduh, bahkan satu dua kasus mempertontonkan demokrasi yang anarkhis. sementara standar kualitas legislatif (anggota dpr terpilih) jauh di bawah standar memadai. sebagian besar kualitas dpr/dprd hanya berorientasi pada jabatan dan kekuasaan, tak memiliki kepedulian tinggi, tak memiliki jiwa yang merakyat, tak memiliki wawasan kebangsaan dan kesejarahan yang pantas. sementara hampir 40-an parpol yang ada, tak dengan sendirinya mencerminkan standarisasi kualitas demokrasi bangsa ini. parpol lebih mirip seperti mobil omprengan yang ngetem di halte-halte darurat, dan pengurus parpol berteriak seperti kenek omprengan yang berebut penumpang. kalau sudah begini, lantas akan dibawa ke mana bangsa dan negara ini, quo vadis indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar